Sabtu, 10 April 2010

Karya Foto Essai

"Menjadi Princess"
oleh: Ardi Wilda


Pake lipstick sih jadi gak bisa senyum,” kata Ibu dari Risa yang baru berusia tiga tahun saat melihat putrinya difoto dengan berdandan ala princess. Tak hanya Risa yang malam itu menggunakan baju Princess, masih ada Nia (4 tahun) dan Fani (7) yang malam itu difoto dengan pakaian dan gaya princess. “Ya gaya adik, satu, dua, tiga,” kata seorang tukang foto meminta anak-anak yang ingin difoto untuk bergaya bak princess dalam sebuah dongeng.

Baik Risa, Nia, Fani ,maupun Risa mengaku ingin difoto seperti princess karena ingin tampak seperti boneka Barbie yang mereka suka mainkan. Untuk mengobati keinginan anaknya, orang tua masing-masing anak kemudian membawa mereka ke Gerai Badut Jogja yang ada dalam Pasar Malam Sekaten di Alun-Alun Utara Jogjakarta. Badut Jogja menyediakan layanan foto bergaya layaknya princess dengan harga antara sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah tergantung dari ukuran foto yang hendak dicetak.

Setelah difoto anak-anak kecil itu tampak amat senang dan dengan bibir tersungging menenteng foto mereka dengan gaya princess. Bahkan Nia mengaku sudah dua kali foto di tempat badut itu sekedar agar terlihat tampil mirip Barbie, boneka kesayangannya. Tak ketinggalan Ibunya juga mengaku senang anaknya bisa tampil seperti Barbie.

Tampil sebagai Barbie, sebuah ikon konstruksi “cantik” ala barat menjadi begitu penting saat ini. Bahkan anak kecil di Jogjakarta, yang jarakanya beribu mil dari Barbie di negeri Paman Sam sana bisa dengan mudah bergaya layaknya tokoh boneka cantik kesayangannya. Bukan tak mungkin sepuluh tahun lagi mereka menjadi Barbie-Barbie besar tentunya dengan nilai konstruksi cantik ala barat. “Mama aku mau foto kaya Barbie lagi,” sekali lagi Risa memohon kepada ibunya.









___________________________________________________________________

"Menyatukan Keseimbangan"
oleh: Novia Hadiputri

Ada yang berbeda dari biasanya di tempat ini, sebuah tempat sederhana yang tidak terlalu luas. Seorang Indonesia dan seorang berkebangsaan Spanyol, mereka berada disana, mempelajari teknik-teknik terapi pengobatan dari timur, memahami perpaduan energi dalam tubuh, melakukan seni memijat. Akupresure, yakni cara pengobatan tradisional dari Timur dengan memijat pada titik akupuntur yang berada di permukaan tubuh untuk menyeimbangkan Qi (energi). Pengobatan yang mengadopsi dari negeri Cina mengenai keseimbangan YIN dan YANG ditarik menjadi sebuah pengobatan Javanese Akupresure. YIN-YANG sebagai dua segi yang saling berhubungan di alam semesta, aplikasinya bahwa manusia sehat apabila YIN-YANG dalam tubuh mereka harmonis dan teori 5 unsur Air, Tanah, Logam, Kayu dan Api sebagai unsur yang hadir melengkapi YIN-YANG. Bahwa timur dan barat adalah adalah karakter YIN-YANG yang saling ketergantungan dan tidak berdiri sendiri.

Javanese Akupresure sebagai seni pengobatan yang penuh dengan filosofi Jawa, mereka mencoba mempelajari. Tidak hanya teori untuk pemijatan, mereka mendapatkan hal baru mengenai budaya Jawa. Bahwa teknik pemijatan yang dilakukan sama halnya dalam Seni Tari ajaran tentang sikap yang disebut “Laksita-Tama” yaitu : “Wirasa, wirama, lan wiraga “ (dengan memperhatikan tuntunan rasa dan disertai gerak yang ber-irama secara teratur). Akan tumbuh sikap “Nyawiji, Greget Sengguh Ora Mingkuh” maksudnya dalam melakukan pemijatan, hati dan pikiran selalu konsentrasi (Hening) agar tetap menyatu antara cipta, rasa, karsa sehingga akan menimbulkan daya (energi) sesuai yang di kehendaki. Dari sisi anatominya pemijatan di Jawa juga dikenal dengan simpul “Tali Roso” yaitu simpul-simpul atau titik-titik pemijatan berdasarkan HO NO CO ROKO.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar